Kamis, 27 Desember 2007

JUNAIDI JUNAIDI

SEJAK kapan persisnya dia mulai berdagang di sana, saya tak pernah tahu, karena memang tak merasa penting benar buat mencari tahu. Tapi, dari begitu banyak penjaja makanan di situ, saya merasa menu masakannyalah yang paling "mendingan".

Kategori "mending" ini harus saya garis-bawahi, karena, sejujurnya, rasanya tak terlalu enak, bahkan cenderung ganjil. Katanya nasi uduk, tapi lauk utamanya justru rendang daging. Juga ada semur telur, ayam goreng, dan telur dadar sebetulnya. Tapi, rendang daging?

Teman lauknya justru lebih tak lazim lagi: bihun goreng dan tempe orak-orik. Tapi, sambalnya luar biasa mantap. Tak pedas, juga tidak manis. Diambil separo piring pun, tak akan sampai membuat perut mulas.

Ayam gorengnya renyah di mulut. Anak sulung saya bisa habis tiga potong sekali makan. Mungkin itu yang membuat saya dan keluarga tetap bolak-balik ke sana; lebih sering menjadikannya menu sarapan pas Sabtu-Minggu.

Tapi, mungkin juga karena kita bisa makan sepuasnya di situ. Tak seperti penjaja makanan lainnya, si pemilik mempersilakan para pembeli melayani diri sendiri: mengambil nasi dan lauk-pauk sepuasnya. Nasinya tetap gratis, meski kita tambah tiga piring. Lauknya tetap diposisikan di bawah harga rata-rata dibanding penjaja makanan di kiri-kanannya. Berkali-kali makan di situ dengan empat orang atau lebih, harganya tetap di bawah 50 ribu rupiah. Dengan ayam dan rendang sekaligus pun sama saja. Bagaimana dia menghitung, saya tak pernah tahu, dan tak merasa penting benar buat mencari tahu.

Jangan kemudian mengira dia BU atau RP (rindu pembeli), makanya membanting harga di bawah standar kompetitif yang cenderung merusak pasar. Justru, ditilik dari sudut mana pun, taraf hidupnya tampak di atas rata-rata. Satu hal yang sudah langsung terlihat kasat mata, dia berjualan dengan menggunakan mobil pickup -- sementara rekan-rekannya sesama pedagang melulu bergerobak-ria. Dan, bukan cuma satu. Karena, masih di sekitar kompleks perumahan itu, dia punya dua outlet-pickup lainnya yang mangkal di tempat berbeda.

***

KALAUPUN ada sedikit yang "menjengkelkan" saya, nama dia sama dengan nama saya. Entah mengapa, saya selalu jengkel jika bertemu dengan orang bernama sama. Bukan semata mengindikasikan bahwa nama saya (dan nama dia) terlalu pasaran. Tapi, mungkin lebih karena saya terlanjur beranggapan, apa pun, nama adalah integritas seseorang. Menunjukkan positioning, mungkin juga level.

Aha, bukan berarti saya merasa tak selevel dengan si pedagang nasi uduk ini; beranggapan dia lebih rendah dan saya lebih tinggi. Sama sekali tidak. Justru, sebaliknya, saya seringkali berpikir, apakah nama itu sudah sepadan dengan diri saya, dan dirinya.

Ketika menjadi wartawan dulu, saya pernah merasa sangat "iri" saat mewawancarai (Achmad) Djunaidi AK, yang saat itu menjabat Direktur Utama Jamsostek. Nama kami sama; tapi, lihatlah, dia begitu cerdas, sukses, glamour, kaya-raya, dan menyenangkan -- mengingatkan saya pada seloroh orang-orang rendah diri: nama boleh sama, tapi rejeki masing-masing.

Belakangan, ketika Pak Dirut itu diproses hukum karena terlibat korupsi di perusahaannya sendiri, rasa saya terhadapnya berbalik drastis: seketika saya "malu" mempunyai nama sama dengannya.

Tapi, okelah, kita tak sedang membahas soal nama di sini. Hanya saja, jengkel saya tetap kambuh saat Sabtu-Minggu pagi anak-anak saya membangunkan saya dari tidur pendek dengan kalimat: "Pak Junaidi, Pak Junaidi! Nasi uduknya dong satu, gak pakai rendang!" -- lalu saat di depan outlet-pickup si Junaidi nasi uduk, mereka ramai menjerit-jerit: "Daddy, Daddy! Nasi uduknya dong satu, gak pakai rendang!" (Daddy (= ayah) adalah panggilan anak bungsu saya kepada saya setelah dia kursus satu bulan di salah satu lembaga bahasa Inggris mahal dekat rumah).

***

DAN, ini cerita sesungguhnya yang saya maksud.

Bulan lalu, tiba-tiba orang-orang sekompleks tempat saya tinggal (lebih baik tak saya sebutkan nama permukimannya, khawatir dianggap menyalahi copyrigts ketimbang menjadikan iklan gratis) kehilangan Junaidi dan kawan-kawan. Areal perdagangan mereka di pinggir halaman parkir lapangan tenis rapi-jali, kosong-melompong.

Isteri saya, yang seringkali sok tahu dari orang yang benar-benar tahu, langsung menyimpulkan: "Ternyata betul, mereka diusir pengelola."

Diusir? Oleh pengelola? Maksudnya, developer permukiman elit ini?

Saya malah jadi bingung. Justru karena tak pernah tahu sejak kapan Junaidi cs berdagang di sana, saya mengira pihak developer tadinya sengaja menjadikan halaman parkir lapangan tenis yang memang kosong dan cukup strategis itu -- karena berada tak jauh dari pintu masuk utama dan di pinggir kali butek -- sebagai lokalisasi jajan para penghuni. Para pedagangnya pun sama, itu-itu saja. Tak pernah kurang, tak pernah lebih. Siapa kira kalau ternyata mereka liar?

Liar? Tidak resmi? Aneh. Seingat saya, sudah lebih 11 tahun saya tinggal di permukiman ini, dan sudah melihat Junaidi cs berjualan di sana begitu saya akad-kredit menjadi penghuni.

Liar? Selama itu?

Saya tak yakin para penghuni, yang notabene pelanggan loyal nasi uduk Junaidi, rela kehilangan menu sarapan rutin mereka sehari-hari. Isteri saya bahkan sudah membalik-balik buku telepon halaman kuning, mencari agen pembuat spanduk. Dia mengaku paling siap turun ke jalan kalau memang masyarakat penghuni ingin berdemo ke kantor developer, menuntut Junaidi cs dikembalikan berdagang di lokalisasi yang ternyata bukan lokasi berdagang itu.

Tapi, demo yang ditunggu tak pernah ada. Kendati para penghuni yang fanatik kecele dan saling sumpah-serapah saat menemui areal mangkal Junaidi tempo hari lengang, mereka merasa terlalu gengsi untuk melakukan aksi unjuk rasa. Padahal, saya ikut berharap, di permukiman elit yang penghuninya amat individualistis ini, terusirnya Junaidi dan kawan-kawan bisa menjadi pemicu mengeratnya tali silaturahim antar tetangga.

Nyatanya, tidak tuh.

Lucunya, anak sulung saya yang sudah gatal lidah karena tiga kali Sabtu-Minggu tak sarapan nasi uduk Junaidi, punya ide sosial-kreatif (atau, kreatif-sosial?). Katanya, "Coba kalo kita tau nomor ha-pe Daddy Junaidi (maksudnya bukan daddy = saya), mungkin kita bisa pinjemin garasi rumah kita buat dia jualan ya, Dad (yang ini maksudnya memang dad = saya)."

Ide itu menarik juga, meski saya jelas tak setuju. Mau ditaro di mana mobil saya nanti kalau garasi dipakai parkir outlet-pickup Junaidi?

Lebih lucu lagi, dua minggu berselang, anak sulung saya pulang latihan taekwondo sambil berteriak marah: "Ada orang mencuri ide aku!"

Ide apa? Yang mana?

Dia lalu mengajak saya bersama isteri dan si bungsu naik mobil ke satu tempat di sudut kompleks. Apa yang saya lihat, bikin saya takjub: outlet-pickup Junaidi terparkir di salah satu garasi rumah; dan dia berjualan di sana!

***

MUNGKIN memang seperti itu cara sebuah keluarga penghuni permukiman elit yang terlanjur loyal dengan nasi uduk Junaidi "berunjuk rasa". Dengan merelakan garasi mereka menjadi arena Junaidi berdagang, maka pihak developer tak punya hak lagi mengusir-usir.

Sempat juga terpikir, mungkinkah ada klausul penghuni rumah dilarang menjadikan rumahnya arena berdagang oleh developer di kawasan ini -- saya tak tahu, lebih baik memang tak usah mencari tahu. Yang langsung saya tahu, tradisi sarapan nasi uduk Sabtu-Minggu keluarga saya pulih kembali; meski tak sempurna.

Dibanding halaman parkir lapangan tenis dahulu, lokasi dagang Junaidi sekarang jelas lebih sempit, sumpek. Meja makan panjang knockdown dengan kursi-kursi plastik warna-warni yang tadinya tetap leluasa diduduki dua belas orang, jadi sesak berdesakan hanya dengan enam orang di atasnya. Selera makan pun susut saat harus bersantap dengan tangan saling bersikutan. Banyak pelanggan loyal yang tadinya sengaja datang makan nasi uduk sekaligus "membeli" suasana, memilih bungkus dan bawa pulang.

Tapi, seperti saya juga ikut merasakan, makan-bungkus-bawa-pulang, tak senikmat makan-di tempat-sambil-cucimata-memandang-sekitar. Mungkin cuma soal waktu yang akan membuat para pelanggan lama pelan-pelan mundur dan terpaksa merelakan mencari teman sarapan yang baru.

Junaidi pun tahu gelagat jelek itu. Makanya, dia akan langsung berkeluh-kesah jika ada seseorang menyayangkan migrasi dia berdagang. Kalau sudah begitu, dengan satu sentilan, segala omelan dan kutukan terhadap pihak developer berjumpalitan.

Isteri saya, yang terbukti cinta-sangat lebih pada nasi uduknya ketimbang pemiliknya, di ujung cercaan Junaidi, berlagak menghibur: "Gak papalah. Semua pasti bakal ada hikmahnya."

Karena cuma berlagak, hiburan itu jadi tak cukup menghibur yang ingin dihibur. "Iya kali," si Junaidi terkekeh, tersipu, tapi bergumam linglung, "Kira-kira hikmah apa ya?"

Pertanyaan itu tak lama menggantung. Sekelompok orang penggemar olahraga sepeda sehat -- ditandai dengan kostum ketat mereka hingga ke celana; yang selalu membuat saya risi membayangkan kalau memakainya -- rupanya tak sengaja ikut mendengar keluh-kesah Junaidi. Salah seorang di antara mereka, saat membayari nasi uduk sebelas rekannya yang ramai-ramai makan di atas sepeda, bertanya iseng: "Memang sebelumnya jualan di mana, Pak?"

Meski ditanya iseng, Junaidi kembali meletup dan menjelaskan tanpa iseng-iseng. Lagi-lagi mengata-ngatai pihak pengelola permukiman, kendati rombongan atlet sepeda itu sudah berpamitan pergi.

"Jadi, sudah tahu apa hikmahnya?" Saya menepuk pundak Junaidi sambil mengamati atlet-atlet bercelana ketat yang nyaris hilang di tikungan jalan. "Itu tadi baru saja mereka tunjukan."

Junaidi memandang saya. Awalnya bingung, tapi kemudian terkekeh lagi, kali ini dengan wajah senang. "Pelanggan baru, maksudnya?" gumamnya berbinar.

Saya mengangkat bahu, berpikir praktis. Mungkin di tempat baru Junaidi akan jarang didatangi pelanggan lama. Tapi, di sini, secara alamiah dia akan menemukan para pelanggan baru yang, mungkin, jumlahnya lebih banyak; atau justru lebih sedikit?

Rasanya akan relatif. Toh, beberapa pelanggan lama yang terlanjur loyal tetap saja mencarinya. Saya dan keluarga, misalnya.

***

Jadi, apa sesungguhnya yang menyebabkan pihak developer menggusur Junaidi dan kawan-kawan dari tempat asal?

Banyak isu yang beredar. Tapi, saya memilih tak mau tahu, karena memang tak merasa penting benar buat mencari tahu.

***

Jumat, 14 Desember 2007

CERITA ADI

KETIKA sedang sibuk di depan laptop, icon YM saya berdetik: "Ada lowongan kerja buat gw gak di tempat lo?"

Itu salam pembuka yang langsung menohok ke inti persoalan. Sudah pasti pengirimnya orang yang (merasa) sangat mengenal saya dan cukup saya kenal. Kalau tidak, tentu bahasa yang amat mempetaruhkan harga diri itu tak akan muncul.

Kendati begitu, saya tetap harus balik melontarkan pertanyaan verbal yang akan membongkar inti persoalan: "Ada masalah apa lagi emang lo? Bukannya posisi lo di tempat sekarang udah enak?"

***

ADI, si pengirim YM itu, kemudian bercerita. Perusahaannya, sebuah stasiun TV swasta di daerah, saat ini sedang diincar sebuah grup TV swasta besar dari Jakarta. Opsinya kemungkinan ada dua: kalau tidak merger, ya, take over.

Keduanya masuk akal, mengingat setelah tiga tahun beroperasi, stasiun TV tempat si Adi bekerja terus-terusan "jalan di tempat". Sang pemilik sudah letih mengucurkan duit, tapi bayang-bayang keuntungan yang bakal direguk, kian jauh dari harapan.

Padahal, masih menurut Adi, berbagai strategi bisnis sudah dilakukan. Mulai dari perampingan size perusahaan dengan merumahkan sejumlah karyawan, sampai perombakan sebagian besar program siaran.

Hasilnya tetap sama: jalan-jalan di tempat.

Nah, yang bikin Adi kebat-kebit, kalau benar "perkawinan" kedua perusahaan terjadi, maka posisinya sebagai salah seorang petinggi di kantornya sekarang akan ikut tercerabut. Peluang terburuk adalah golden shake hand ("Mending kalau bener golden! Lha, kalau cuma loyang, piye?"); atau, yang lebih buruk lagi, tetap dipertahankan, namun turun pangkat jadi karyawan biasa, bukan lagi petinggi.

Apa pun, kedua pilihan tersebut ogah disandang Adi. Makanya, sebelum "perkawinan" benar terjadi, dia memutuskan segera mencari peluang kerja di tempat lain. Salah satunya dengan mengirimkan email S.O.S. ke saya: "Ada lowongan kerja buat gw gak di tempat lo?"

***

Itu cerita Adi sekarang.

Dua setengah tahun yang lalu, cerita Adi jauh berbeda.

Ceritanya, untuk menjadi "petinggi" di kantornya sekarang, ia dibajak dari sebuah stasiun TV swasta besar di Jakarta dengan nilai transfer yang (menurut ukuran dirinya) lumayan mencengangkan. Berapa persisnya, lebih baik tak usah saya sebutkan, karena dia sendiri enggan bercerita detail.

Tadinya, saya pikir, dengan perubahan kualitas hidup seperti itu, dia akan merasa hepi. Nyatanya tidak terlalu. Ceritanya, duit itu sebagian besar lari ke sekolah baru anak-anaknya yang berlabel international school. Juga terkuras untuk merenovasi rumah di Jakarta, beli mobil second, serta tetek-bengek lain. Dan, overhead rumah tangganya kian mencekik setelah isteri dan anak-anaknya menolak ikut boyongan ke daerah dengan sejumlah alasan masuk akal.

Sampai-sampai, di depan saya, Adi sempat berkata, "Bayangin, kalau gw belum berumah tangga en gak punya anak-anak, pasti gw udah bisa beli sedan mewah, jam Rolex, apartemen, liburan ke Eropa...."

Omongan seperti itu bukan sekali-dua kali dia sebutkan; sampai-sampai saya sempat berseloroh: "Jadi, ceritanya, lo nyesel kawin neh?"

Dia cuma nyengir kuda, tak berkomentar, tapi tetap saja mengulangi kalimat yang sama di berbagai kesempatan.

Dan, kalimat tersebut kian terdengar dramatis saat rencana "pekawinan" perusahaan tempatnya bekerja dengan grup stasiun TV swasta besar asal Jakarta itu mendekati realisasi. "Mau gw kasih makan apa anak-anak gw kalo bener kejadian gw dipecat atau turun pangkat?"

***

Lama tak muncul, cerita Adi kemudian berubah lagi.

Dia hadir tetap lewat YM yang berdetik di laptop saya: "Hore, gw gak jadi dipecat!"

Saya balas mengirim chatt: "Tapi, tetep turun pangkat?"

"Sedikit. Gw sekarang General Manager."

"Tapi, lo bilang, kalo turun pangkat, lo ogah?"

"Memang, tapi daripada dipecat, gw pilih turun pangkat."

"Pasti karena lo takut anak-anak lo gak bisa makan kalo lo dipecat, kan?"

"Wah, lebih dari itu! Lo tau gak, 90% temen-temen gw di sini tersingkir, termasuk para direksi."

"Tapi, lo gak?"

"Untungnya gak."

"Pasti karena kinerja lo dianggap bagus sama manajemen yang baru."

Dia mengetik gambar icon YM sedang tertawa lebar. "Ternyata gak juga."

"Lho, terus?"

"Yang gw denger sih, gw gak dipecat karena Boss gw yang lama bilang ke Boss yang baru kalau anak gw banyak."

"Maksud lo?"

"Anak gw empat, lo tau, kan? Kalo gw dipecat, mereka mau makan apa?"

Ah, kalimat basi itu lagi. Tapi, saya sempat melihat ironisnya. "Maksud lo, anak-anak lo menyelamatkan lo dari pemecatan?"

Gambar icon YM sedang tertawa lebar muncul tiga kali di layar laptop saya. "Ya, ya, ya, persisnya begitu."

Saya jadi ikut mengetikkan gambar icon YM sedang tertawa sangat-sangat lebar lima kali berturut-turut, lalu menambahkan: "Coba bayangin, seperti apa nasib lo kalo lo gak berumah tangga en gak beranak-pinak?"

Dia membalas dengan mengirimkan gambar icon YM sedang bermuram-durja, dan mengetik: "Bunuh diri kale...."

***

Rabu, 12 Desember 2007

MEDIUM MAKNA

LATAH menjadi "gaya hidup" yang senantiasa saya hindari.

Suatu kali, di meja meeting, seorang klien bertanya: "Anda punya blog?"

Tentu, saya tahu apa itu blog; kendati, jelas, tak paham pasti. Tapi, memiliki? Untuk apa? Terlalu banyak medium yang saya punyai jika sekadar ingin bereksplorasi.

Tapi, blog? Tidak. Tidak perlu.

***

SUATU ketika, saat mengambil rapor anak saya, sang guru bertanya: "Kalau boleh tahu, apa sesungguhnya profesi Anda?"

Saya terlengak; lebih karena berpikir si guru memang sedang menyimpan makna tertentu. Biasanya, di ujungnya, akan ditambah dengan kalimat: "Saya punya keponakan yang baru diwisuda jadi sarjana. Kira-kira Anda bisa bantu mempekerjakannya?"

Lagu lama, namun tetap manusiawi. Tipikal sejati mahluk sosial yang peduli pada sesama.

Karena terlanjur menebak ke arah mana pertanyaan itu akan berujung, saya dengan enggan balas bertanya: "Kenapa rupanya?"

"Ah, tidak," sang guru berkelit, namun saya tetap bersiaga mengendus akhirnya. "Saya cuma bingung. Suatu kali murid-murid saya beri tugas membuat karangan tentang profesi dan pekerjaan orang tua mereka."

"Oh ya?" Saya mendadak kesulitan mendeteksi ujung makna cerita si guru. "Dan, yang membuat Anda bingung adalah?"

"Anak Anda." Ia menyodorkan selembar kertas dengan tulisan cakar ayam satu alinea. Tulisan anak saya yang memang sulit dibaca. "Dia menulis begini."

Perlu empat kerutan mata untuk membaca tulisan itu. Namun, dampaknya sungguh mengejutkan: Pekerjaan Ayah saya miting. Pagi miting, siang miting, malam miting....

***

Saya pikir, dan ini yang akan terus saya sepakati, saya tak perlu bercerita detail pada si guru apa yang saya kerjakan. Namun, ketika saya pikir ulang, dan saya kaji berulang-ulang, faktanya, risiko pekerjaan memang menuntut jam bilogis saya berbeda dengan anak-anak saya.

Pulang kerja malam hari, mereka sudah tidur; dan saat mereka berangkat sekolah pagi hari, saya masih tergolek di tempat tidur. Sabtu-Minggu memang kami sepakat libur dan meliburkan diri. Namun, waktu sependek itu lebih banyak habis untuk berjalan-jalan ke mall dan ke kolam renang; tanpa sempat saling cerita saya bekerja apa dan sedang mengerjakan apa.

Yang ada justru, setelah saya pikir sekaligus kaji ulang, di tengah mall atau kolam renang, handphone saya seringkali berdering. Lalu, dalam hitungan menit, saya berpamitan dan meninggalkan mereka dengan satu alasan: meeting.

....kalau ditanya mau ke mana, Ayah selalu bilang miting. Kalau ditelepon Bunda sudah malam kok belum pulang, Ayah jawab lagi miting. Jadi, miting adalah profesi Ayah saya....

***

Itu sebabnya saya sekarang membuka blog. Tempat saya berakselerasi dan bereksplorasi menjelaskan kepada dunia, meski tetap saja tak detail, apa saya dan siapa saya.

Setidaknya, agar anak-anak saya mengerti, bahwa Ayahnya sesekali juga menulis blog, bukan melulu meeting.

***