Jumat, 14 Desember 2007

CERITA ADI

KETIKA sedang sibuk di depan laptop, icon YM saya berdetik: "Ada lowongan kerja buat gw gak di tempat lo?"

Itu salam pembuka yang langsung menohok ke inti persoalan. Sudah pasti pengirimnya orang yang (merasa) sangat mengenal saya dan cukup saya kenal. Kalau tidak, tentu bahasa yang amat mempetaruhkan harga diri itu tak akan muncul.

Kendati begitu, saya tetap harus balik melontarkan pertanyaan verbal yang akan membongkar inti persoalan: "Ada masalah apa lagi emang lo? Bukannya posisi lo di tempat sekarang udah enak?"

***

ADI, si pengirim YM itu, kemudian bercerita. Perusahaannya, sebuah stasiun TV swasta di daerah, saat ini sedang diincar sebuah grup TV swasta besar dari Jakarta. Opsinya kemungkinan ada dua: kalau tidak merger, ya, take over.

Keduanya masuk akal, mengingat setelah tiga tahun beroperasi, stasiun TV tempat si Adi bekerja terus-terusan "jalan di tempat". Sang pemilik sudah letih mengucurkan duit, tapi bayang-bayang keuntungan yang bakal direguk, kian jauh dari harapan.

Padahal, masih menurut Adi, berbagai strategi bisnis sudah dilakukan. Mulai dari perampingan size perusahaan dengan merumahkan sejumlah karyawan, sampai perombakan sebagian besar program siaran.

Hasilnya tetap sama: jalan-jalan di tempat.

Nah, yang bikin Adi kebat-kebit, kalau benar "perkawinan" kedua perusahaan terjadi, maka posisinya sebagai salah seorang petinggi di kantornya sekarang akan ikut tercerabut. Peluang terburuk adalah golden shake hand ("Mending kalau bener golden! Lha, kalau cuma loyang, piye?"); atau, yang lebih buruk lagi, tetap dipertahankan, namun turun pangkat jadi karyawan biasa, bukan lagi petinggi.

Apa pun, kedua pilihan tersebut ogah disandang Adi. Makanya, sebelum "perkawinan" benar terjadi, dia memutuskan segera mencari peluang kerja di tempat lain. Salah satunya dengan mengirimkan email S.O.S. ke saya: "Ada lowongan kerja buat gw gak di tempat lo?"

***

Itu cerita Adi sekarang.

Dua setengah tahun yang lalu, cerita Adi jauh berbeda.

Ceritanya, untuk menjadi "petinggi" di kantornya sekarang, ia dibajak dari sebuah stasiun TV swasta besar di Jakarta dengan nilai transfer yang (menurut ukuran dirinya) lumayan mencengangkan. Berapa persisnya, lebih baik tak usah saya sebutkan, karena dia sendiri enggan bercerita detail.

Tadinya, saya pikir, dengan perubahan kualitas hidup seperti itu, dia akan merasa hepi. Nyatanya tidak terlalu. Ceritanya, duit itu sebagian besar lari ke sekolah baru anak-anaknya yang berlabel international school. Juga terkuras untuk merenovasi rumah di Jakarta, beli mobil second, serta tetek-bengek lain. Dan, overhead rumah tangganya kian mencekik setelah isteri dan anak-anaknya menolak ikut boyongan ke daerah dengan sejumlah alasan masuk akal.

Sampai-sampai, di depan saya, Adi sempat berkata, "Bayangin, kalau gw belum berumah tangga en gak punya anak-anak, pasti gw udah bisa beli sedan mewah, jam Rolex, apartemen, liburan ke Eropa...."

Omongan seperti itu bukan sekali-dua kali dia sebutkan; sampai-sampai saya sempat berseloroh: "Jadi, ceritanya, lo nyesel kawin neh?"

Dia cuma nyengir kuda, tak berkomentar, tapi tetap saja mengulangi kalimat yang sama di berbagai kesempatan.

Dan, kalimat tersebut kian terdengar dramatis saat rencana "pekawinan" perusahaan tempatnya bekerja dengan grup stasiun TV swasta besar asal Jakarta itu mendekati realisasi. "Mau gw kasih makan apa anak-anak gw kalo bener kejadian gw dipecat atau turun pangkat?"

***

Lama tak muncul, cerita Adi kemudian berubah lagi.

Dia hadir tetap lewat YM yang berdetik di laptop saya: "Hore, gw gak jadi dipecat!"

Saya balas mengirim chatt: "Tapi, tetep turun pangkat?"

"Sedikit. Gw sekarang General Manager."

"Tapi, lo bilang, kalo turun pangkat, lo ogah?"

"Memang, tapi daripada dipecat, gw pilih turun pangkat."

"Pasti karena lo takut anak-anak lo gak bisa makan kalo lo dipecat, kan?"

"Wah, lebih dari itu! Lo tau gak, 90% temen-temen gw di sini tersingkir, termasuk para direksi."

"Tapi, lo gak?"

"Untungnya gak."

"Pasti karena kinerja lo dianggap bagus sama manajemen yang baru."

Dia mengetik gambar icon YM sedang tertawa lebar. "Ternyata gak juga."

"Lho, terus?"

"Yang gw denger sih, gw gak dipecat karena Boss gw yang lama bilang ke Boss yang baru kalau anak gw banyak."

"Maksud lo?"

"Anak gw empat, lo tau, kan? Kalo gw dipecat, mereka mau makan apa?"

Ah, kalimat basi itu lagi. Tapi, saya sempat melihat ironisnya. "Maksud lo, anak-anak lo menyelamatkan lo dari pemecatan?"

Gambar icon YM sedang tertawa lebar muncul tiga kali di layar laptop saya. "Ya, ya, ya, persisnya begitu."

Saya jadi ikut mengetikkan gambar icon YM sedang tertawa sangat-sangat lebar lima kali berturut-turut, lalu menambahkan: "Coba bayangin, seperti apa nasib lo kalo lo gak berumah tangga en gak beranak-pinak?"

Dia membalas dengan mengirimkan gambar icon YM sedang bermuram-durja, dan mengetik: "Bunuh diri kale...."

***

Tidak ada komentar: